Selasa, 03 Maret 2015

Pemulihan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis hingga tahun ini  yang masih terbilang lamban melalui dominasi konsumsi jelas belum menunjukkan suatu kinerja ekonomi yang mapan, setidaknya ini terlihat pada investasi yang masih lemah, tingkat pengangguran makin tinggi serta angka kemiskinan yang terus membengkak.  Sebuah teka-teki yang harus dijawab oleh seluruh komponen bangsa ini adalah mengapa kita begitu tertinggal dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia atau Thailand dalam hal pemulihan ekonomi, padahal pemerintahan telah silih berganti, berbagai terobosan dalam kebijakan makroekonomi sudah ditempuh, serta ketersediaan potensi dan sumber daya ekonomi masih cukup memadai? 

     
Agaknya analisis terhadap indikator-indikator ekonomi saja belum cukup untuk dapat menjelaskan secara tuntas mengapa perekonomian bekerja begitu lambat. Terdapat variabel-variabel lain di luar perekonomian yang turut memberi kontribusi bagi bekerjanya proses pemulihan ekonomi Indonesia. Pengalaman krisis membuktikan bahwa kerapuhan dalam sistem politik, sosial budaya, keamanan, hukum dan pemerintahan merupakan faktor yang amat dominan dalam mendorong proses perluasan krisis.  Dari hasil  pemetaan yang dilakukan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) terhadap berbagai persoalan yang dihadapi para pengusaha dan investor di Indonesia hingga saat ini, ditemukan bahwa permasalahan utama yang dihadapi adalah stabilitas politik dan penegakan hukum. Para pelaku usaha menghadapi banyak pengalaman buruk ketika harus berhadapan dengan masalah birokrasi dan inkonsistensi kebijakan, perpajakan serta penegakan hukum (terutama menyangkut penyelundupan dan pembajakan). Permasalahan lain adalah korupsi, ketenagakerjaan, kejahatan dan keamanan, infrastruktur serta otonomi daerah. Masalah itu menimbulkan high cost economy, kenaikan biaya tenaga kerja, anjloknya investasi, rendahnya produktivitas serta kondisi prasarana yang tidak memadai

 
Demokratisasi dan Fragmentasi Politik
Krisis politik yang terjadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru amat berpengaruh pada aktivitas perekonomian di tanah air. Ketidakpastian arah politik Indonesia di tahun-tahun awal krisis berimbas pada ketidakstabilan ekonomi. Investasi yang lemah serta pertumbuhan ekonomi yang naik turun pada periode 1998-2001 merupakan ekses dari gonjang-ganjing politik yang cukup krusial pada periode tahun tersebut, serta membaiknya perekonomian pada saat ini juga tidak terlepas dari semakin stabilnya situasi politik sejak pemilu langsung tahun 2004 yang sukses memilih presiden baru secara demokratis. Namun demikian kemungkinan untuk terjadi gejolak dalam perekonomian dalam waktu-waktu ke depan dapat saja terulang bila situasi politik kembali menunjukkan ”perangai” buruknya. Harapan publik terhadap stabilitas politik nasional agaknya amat dominan dalam menentukan keputusan-keputusan ekonominya. Investasi yang rendah hingga saat ini menunjukkan suatu ekspektasi yang masih lemah oleh para pelaku ekonomi terhadap stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri untuk jangka panjang. Maka apapun agendanya, upaya ke arah perbaikan sistem politik hendaknya terus
diarahkan pada pengembalian kepercayaan publik atas kejelasan arah politik dalam negeri yang kondusif dan berpihak bagi bekerjanya kembali berbagai mekanisme perekonomian melalui aktivitas-aktivitas yang produktif. Oleh karenanya situasi politik yang stabil dan kondusif merupakan prasyarat utama dan tiket menuju pemulihan ekonomi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Fenomena sentral yang muncul pasca runtuhnya rezim Soeharto dan menjadi isyu penting untuk diwaspadai sekaligus diantisipasi dan terus dikawal adalah seputar demokratisasi, fragmentasi (polarisasi) politik serta desentralisasi kekuasaan sebagai wujud dari semangat otonomisasi. Ketiga persoalan domestik ini hadir sebagai sebuah konsekwensi yang tak terpisahkan atas suatu kesepakatan kolektif yang terbangun oleh arus reformasi total yang menuntut perubahan menyeluruh terhadap sistem dan pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Euforia atas kebebasan berekspresi melalui baju demokrasi yang berwujud dalam bentuk kekerasan, sadis dan menyeramkan hingga sampai pada titik yang sulit dikendalikan, jelas mereduksi berbagai upaya pemulihan ekonomi. Bangunan perekonomian yang kuat tentu akan sulit berdiri di atas fondasi politik yang rawan tanpa adanya kepastian hukum dan penegakkan stabilitas keamanan. Kendati salah satu masa kritis telah mampu dilalui seiring dengan suksesnya pemilu langsung 2004, namun meminjam istilah dalam sebuah permainan kuis, kita baru sampai pada ”titik aman pertama”, tahap-tahap selanjutnya akan semakin berat dengan konfigurasi tantangan yang semakin kompleks, di mana ketika prestasi ini tidak mampu dipertahankan maka bukan tidak mungkin kita akan kembali lagi ke titik start, bahkan lebih dari itu tanpa sebuah blue-print yang jelas menyangkut agenda pembenahan terhadap arah dan sistem politik ke depan kita akan terjebak pada suatu titik krusial, dan sulit untuk kembali (point of no return). ”Loncatan cepat” dalam sistem politik yang dialami Indonesia dari otokrasi ke demokrasi telah menciptakan Iklim politik baru yang cukup riskan, yakni tumbuhnya beragam kekuatan politik yang terpolarisasi berdasarkan identitas etnik, agama, aliran politik maupun kepentingan-kepentingan sesaat. Di satu sisi hal ini sangat rentan bagi terpicunya konflik vertikal maupun horizontal serta potensi disintegrasi yang semakin melemahkan perekonomian. Konflik Ambon, Sampit, Poso dan tempat-tempat lainnya menunjukkan mudahnya kekerasan terjadi melalui polarisasi etnis, agama, ataupun kelas. Pada saat yang bersamaan fragmentasi politik juga dapat
melemahkan konsentrasi dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan agenda-agenda perubahan.  Sebagai contoh, terpilihnya SBY yang muncul dari partai baru dan bukan pemenang pemilu telah menimbulkan ketidakpuasan dari partai-partai besar yang dalam pemilu legislatif memiliki suara signifikan di DPR. Ketidakpuasan ini terlihat ketika muncul poros politik baru bernama koalisi kebangsaan yang dibangun untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah. Jika hal ini berlangsung secara tidak sehat akan berimbas pada kurang harmonisnya hubungan eksekutif – legislatif yang secara politis mengganggu keberlangsungan agenda-agenda pemulihan. Maka komitmen dan kompetensi para pengelola negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dari pusat sampai daerah amat dibutuhkan untuk mewujudkan kepemimpinan yang kuat dan solid. Tanpa itu, setiap kebijakan ekonomi harus melalui proses yang lambat serta mudah diintervensi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki modal  yang kuat baik secara ekonomi maupun politik.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah 
Desentralisasi sebagai operasionalisasi dari konsep otonomi daerah yang telah dimulai sejak awal tahun 2001, diharapkan mampu memberi angin baru bagi bangkitnya perekonomian daerah menuju pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih kokoh. Secara ekonomi, desentralisasi itu sendiri dapat mengalihkan fungsi alokasi dan distribusi sumber- sumber ekonomi ke daerah (kabupaten/kota). Hal ini penting karena masyarakat di daerah lebih memahami kebutuhan mereka ketimbang pemerintah di pusat sehingga mereka perlu diberi wewenang yang luas untuk mengelola dan memanfaatkan berbagai potensi dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki untuk kesejahteraannya. Konsekwensi yang di harapkan adalah terciptanya persaingan di antara pemerintah- pemerintah daerah untuk menyediakan prasarana dan pelayanan umum yang terbaik guna menarik para pelaku ekonomi (pemilik modal) ke daerahnya Namun desentralisasi bisa menjadi ”bola liar” ketika daerah belum benar-benar siap ditambah kerelaan pemerintah pusat yang dalam banyak hal terkesan masih setengah hati menyebabkan implementasi menjadi tidak optimal, terjadinya segregasi dan kerawanan sosial, berpindahnya kebobrokan sistem politik ekonomi dari pusat ke daerah, dan pada akhirnya peningkatan kualitas pelayanan publik menuju kesejahteraan ekonomi masyarakat di daerah menjadi jauh dari harapan. Untuk itu Pemerintah pusat harus mempunyai political will yang kuat dalam menjalankan program desentralisasi ini secara sungguh-sungguh disertai pola pembinaan yang konstruktif. Upaya beberapa departemen dan instansi terkait di pusat untuk tetap memegang kendali anggaran sektor-sektor yang wewenangnya telah dialihkan ke daerah, hendaknya ditinggalkan guna meminimalkan praktik rente yang sering terjadi melalui kewenangan mengendalikan anggaran.  Kemudian mengingat tidak semua daerah memiliki sumberdaya dan potensi ekonomi yang sama, dimana ada daerah yang kaya akan sumberdaya alam, sementara ada juga daerah yang miskin, maka harus terdapat suatu mekanisme yang menjamin transfer penghasilan dari daerah kaya ke daerah yang ”kering” akan sumberdaya, tentunya disertai upaya-upaya yang mendorong kemampuan daerah miskin untuk bisa mandiri dalam jangka panjang, dan di lain pihak tidak mematikan insentif bagi daerah kaya untuk tetap
memacu pertumbuhan ekonominya. Paling tidak perumusan dalam menentukan pemberian dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) perlu disesuaikan agar benar-benar bisa berfungsi sebagai penyeimbang dalam anggaran pemerintah daerah, terutama bagi daerah-daerah yang termarginalkan oleh sistem bagi hasil. Sehingga pada gilirannya dapat memperkecil kesenjangan pembangunan antar daerah dan mejembatani jurang ketimpangan. Dalam konteks lain, desentralisasi politik yang teraktualisasi melalui Pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung hendaknya terus didampingi guna  meredam terjadinya polarisasi politik yang tidak sehat pada tingkat daerah. Fenomena kontemporer memperlihatkan efek buruk dari sebuah desentralisasi politik yang belum matang. Pilkada yang yang sementara masih berjalan, menyisakan kecemasan yang mendalam terhadap suksesnya pesta politik rakyat tersebut. Fenomena money politik, pembohongan publik, kecurangan-kecurangan dalam proses pemilihan serta ketidak becusan KPUD sebagai penyelenggara telah melahirkan aksi-aksi kekerasan massa dan pengrusakan massal terhadap fasilitas- fasilitas publik di beberapa daerah. Hal ini mendorong para investor yang sebelumnya telah merencanakan aktivitas penanaman modalnya di daerah untuk sementara harus menahan dananya sambil wait and see hingga ”badai” PILKADA benar-benar berlalu.
Good Governance
Selanjutnya, proses pemulihan ekonomi dapat berjalan optimal melalui pengelolaan pemerintahan yang efektif, jujur dan bertanggung jawab serta memiliki kompetensi yang memadai untuk mengeluarkan bangsa ini dari jeratan krisis. Tanpa adanya pembenahan internal dalam sistem dan tata kelola pemerintahan yang dalam perkembangan terkini dikenal dengan istilah-istilah good governance, dan good corporate governance, maka bisa dipastikan proses pemulihan ekonomi akan berjalan di tempat. Terobosan yang dilakukan pemerintahan SBY beserta kabinet Indonesia bersatunya dalam pemberantasan korupsi merupakan sebuah langkah cerdas dalam upaya pemulihan ekonomi secara menyeluruh. Meskipun masih bertahap seputar penyelewengan di lingkungan aparat negara, namun setidaknya pemerintahan SBY telah meletakkan dasar yang kuat bagi langkah penerapan good governance. Gebrakan tersebut diharapkan tidak segera berhenti karena sesungguhnya korupsi telah mengakar di negeri ini dari pusat sampai daerah dan melibatkan hampir seluruh komponen bangsa, tidak hanya merambah dunia birokrasi namun juga hinggap di gedung rakyat yang terhormat bahkan sampai di ruang pengadilan yang sakral itu. Maka langkah pemberantasannya pun mesti dilakukan secar tuntas dan komprehensif, termasuk menyeret para penguasa masa lalu yang kini cuci tangan serta para konglomerat nakal perampok uang negara yang yang hingga saat ini masih berkeliaran.  Di samping itu agenda good governance tentunya berdimensi sangat luas, bukan hanya terbatas pada pemberantasan korupsi, namun menyangkut keseluruhan upaya pengembalian kepercayaan publik terhadap kompetensi pemerintah dalam mengelola pemerintahan, pencapaian stabilitas keamanan, penegakan supremasi hukum, efisiensi birokrasi dan moral hazard, serta pengelolaan sumber daya ekonomi secara efektif, transparan dan akuntabel. Ketika pemerintah mampu mengembalikan kredibilitasnya di mata masyarakat maupun dunia internasional termasuk para pelaku ekonomi
diharapkan dapat berimbas pada terciptanya iklim yang kondusif bagi investasi-investasi produktif dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu Good governance bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada, melainkan harus melalui upaya yang berkesinambungan melalui penerapan sejumlah prinsip secara frekuen, konsekuen dan terpadu. Prinsip-prinsip itu antara lain :
1)Participation, yakni  partisipasi para pelaku pembangunan, sebagai subyek dan obyek pembangunan yang mandiri, dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pemetikan hasil pembangunan
 2)Common Vision, berupa visi bersama tentang posisi yang hendak dicapai di masa depan, yang dibentuk dengan partisipasi seluas mungkin para mitra pembangunan
3)Rersponsiveness, yakni tanggap terhadap kebutuhan nyata mitra pembangunan;
4)Prdictability: dapat diprediksi karena didasarkan pada aturan yang jelas dan adil, serta kapasitas yang dimiliki
5)Equity and Sustainability: keadilan antar mitra pembangunan sekarang dan antara generasi sekarang dengan  generasi yang akan datang
 6)Transparency: keterbukaan dalam informasi, proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan pembangunan
 7)Rule of Law: supremasi hukum yang berlaku sama untuk semua pihak dan
 8)Accountability, yakni pertanggung-jawaban tentang efektivitas, efisiensi dan keberlanjutan pembangunan, berdasarkan hukum yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar